kegiatan Safari Jurusan yang diadakan oleh Jakarta 32°C di Politeknik Negeri Jakarta, Rabu 21 Mei 2025. (foto: Himpunan Mahasiswa Grafik Penerbitan)


Depok, Hushspaceid - Nongkrong atau berkumpul menjadi cara efektif untuk bertukar pikiran. Hal ini sudah dilakukan dan dirawat oleh Jakarta 32°C melalui programnya, yaitu Safari Jurusan kepada mahasiswa.

Jakarta 32°C merupakan forum yang sudah eksis sejak 2004 di kalangan mahasiswa seni dan budaya, tepatnya Jakarta dan sekitarnya. Forum ini diinisiasi oleh ruangrupa dengan melakukan pameran setiap dua tahunan yang mengumpulkan karya-karya mahasiswa lintas kampus. Seiring berjalannya waktu, forum ini berkembang menjadi tempat untuk mendukung proses-proses mahasiswa untuk berkarya dan kreativitas.

Dalam program Safari Kampus, mereka berkunjung ke kampus dan bertemu dengan mahasiswa untuk menggelar sesi presentasi dan diskusi tentang proses kreatif baik akademis maupun non akademis. Mereka menargetkan ke-10 kampus termasuk Universitas Trilogi, Politeknik Negeri Jakarta, Interstudi, UNINDRA, Binus, hingga Institut Kesenian Jakarta.

Program Safari Jurusan awal mulanya dilakukan oleh Budiman Setiawan yang merupakan penggerak Jakarta 32°C dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa dalam berkarya.
“Awalnya saya hanya nongkrong dan mengobrol, lalu kepikiran buat keliling kampus ternyata saya melihat masih banyak yang butuh ruang kaya gini untuk proses berkarya,” ujarnya saat diwawancarai melalui kunjungannya di Politeknik Negeri Jakarta, Rabu (21/05/2025).

Dalam Safari Jurusan, Jakarta 32°C tidak membawa produk jadi. Mereka hanya membawa pertanyaan. Misalnya, apa yang sedang dipikirkan mahasiswa hari ini soal visual? Apakah karya yang ditolak dosen tetap punya tempat untuk dibicarakan? Atau Bagaimana cara membuat forum yang tidak menggurui, tetapi tetap kritis?

Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian dijawab secara kolektif melalui presentasi, diskusi, sambil nongkrong.
Safari Jurusan tidak ada kompetisi, tidak ada validasi tunggal, dan tidak ada kurator yang duduk lebih tinggi dari yang lain. Semua dimulai dari perkenalan, dilanjutkan dengan diskusi karya kemudian bisa menciptakan kolaborasi.
Namun, Budi mengakui tidak semua berjalan mulus. Perizinan kampus menjadi salah satu hal yang sangat diperhatikan. Selain itu, mahasiswa generasi sekarang mengalami penurunan informasi tentang Jakarta 32°C. Banyak yang tidak mengetahui forum ini, bahkan tidak sedikit yang bingung mengapa acara seperti ini diadakan, justru ini merupakan hal yang menarik.

“Ada kebingungan, iya. Mulai dari perizinan sampai kurangnya informasi tentang kami, tapi itu nggak menyurutkan semangat,” jelasnya.
Selain itu, mahasiswa banyak yang antusias dengan kunjungan yang dilakukan oleh Jakarta 32°C karena bisa menjadi ajang diskusi, menyalurkan kreativitas, dan mendengarkan ide-ide yang dimiliki setiap mahasiswa supaya tidak terpendam.

“Program ini bermanfaat bagi mahasiswa yang ingin menyalurkan ide dan memahami lebih dalam informasi dari forum ini,” ujar salah satu mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta ketika diwawancara.

Tahap akhir dari program ini adalah pameran yang akan dilaksanakan di Gudskul, Jagakarsa. Mahasiswa dari berbagai kampus akan berkumpul, membawa karyanya, bertemu teman baru, dan bisa membentuk ekosistem kecil yang akan terus bertumbuh. Bahkan beberapa karya terpilih direncanakan tampil di Synchronize Festival, bukan sebagai pajangan festival musik, tetapi sebagai bagian dari narasi kolektif mahasiswa yang sedang berproses.

Jakarta 32°C berada di persimpangan antara seni, pendidikan, komunitas, dan aktivisme. Mereka tidak pernah memposisikan diri sebagai institusi. Mereka bergerak sebagai komplotan di tengah dunia yang terus berkembang, komplotan seperti ini justru menjadi alternatif yang lebih jujur.

Pada akhirnya, Safari Kampus bukan tentang mencari karya terbaik atau menobatkan siapa yang paling kreatif, tetapi tentang merawat ruang temu yang makin langka di dunia akademik, di mana gagasan bisa tumbuh tanpa tekanan dan pertemanan bisa dimulai dari obrolan kecil tentang tugas yang tidak selesai.
Di tengah segala kebisingan, barangkali inilah yang kita butuhkan: ruang untuk diam sejenak, melihat karya orang lain, dan memiliki relasi baru untuk bisa berkembang.

Penulis: Roby Dian Anugrah
Editor: Rendi Saputra